ULASAN - APA JADINYA JIKA TELEVISI TANPA VISI DAN TANPA WARNA

 
TIGA TUAN. Sistem pengelolaan TVRI sangat luwes. Secara yuridis formal berbentuk yayasan, akan tetapi, kenyataan operasional sehari-hari secara total di bawah penanganan Departemen Penerangan. Dua dinamika yang berbeda, tapi nyatanya toh bisa berjalan. Kalau tidak berjalna sama-sama, ya, yang salah astu dulu. Misalnya, bentuk dasar yayasan (waktu itu) masih bisa dipergunakan, ketika membicarakan kemungkinan adanya siaran saluran terbatas (RCTI-red).

Sebagai media pemerintah pun, TVRI bisa lebih luwes dari yang diduga. Dikelola dan dikontrol penuh oleh pemerintah, berarti dinamika yang ada juga mengikuti pola tata krama pemerintahan. Baik dari penerimaan pegawai, pengaturan jenjang jabatan, sampai dengan pendekatan mengatur pola acara.

Meskipun demikian, karena 1988 ini, biaya dari pemerintah tidak memenuhi tuntutan dasar, sekali lagi dituntut bisa luwes sendiri. Kalau kemudian ternyata yang namanya pemerintah ini bukan satu atau sepuluh departemen, maka TVRI harus menjadi ekstra luwes.

Caranya yang paling aman dan selamat, tidak mengganggu kestabilan ialah menampung sebisa mungkin segala apa yang diminta. Wajar juga karena pemerintah merasa membiayai dan menganggap pertelevisian termasuk masalah strategis politis.

Demikian juga masyarakat penonton, yang merasa membayar iuran bulanan, dan merasa bahwa biaya keseluruhannya toh juga berasal dari mereka. Ini juga wajar. Akan tetapi, yang wajar di pemerintah belum tentu wajar di masyarakat.

Pola dan tata krama dua sisi yang tidak selalu seirama dalam dinamika. Berarti dibutuhkan keluwesan lebih, karena harus pandai-pandai membuat keseimbangan pemenuhan rasa memiliki dan membutuhi. Keluwesan masih dituntut lagi, karena berhadapan dengan dinamika teknologi yang mempunyai pola, tata krama, dan hukumnay sendiri, yang kadang lepas dari kondisi dan situasi tertentu di suatu pemerintahan.

Kalau kemudian mencoba dipersoalkan bagaimana “peningkatan siaran TVRI” agak merepotkan juga. Soalnya peningkatan siaran yang serba luwes itu tak bisa terus-menerus dipaksa. Keluwesan yang ada, juga mempunyai batas.

Kalau batas ini terlampaui, jadilah siaran televisi yang tak mempunyai visi, tak mempunyai sikap. Siaran tanpa warna, tanpa nada, karena yang ada semata-mata hanya menjalankan tugas yang kurang jelas. Sekurangnya di saat memanjakan penonton, ada pejabat yang merasa ditinggalkan, dan sebaliknya.

Celakanya, ketidakpuasan dari dua kelompok ini bisa bergabung dan dengan perkembangan teknologi yang juga minta diperhatikan, sempurnalah sudah koor kekecewaan itu. Ini yang kemudian tercermin dalam berbagai pendekatan, baik jenis berita atau penerangan, pendidikan, ataupun hiburan.

Berita atau penerangan yang tersusun jadinya adalah berita kurang dari satu menit yang memuat organisasi dan atau lembaga dengan singkatan yang padat. Itulah yang terjadi pada berita pukul 17.00 WIB (Berita Nusantara-red) atau pukul 19.00 WIB (Berita Nasional-red).

Topik atau tokoh yang dikemukakan lalu jgua menjadi kruang jelas. Jangan terlalu berharap berita-berita pemerintahan sendiri bisa terselipkan kalau ternyata ada nilai ‘news’-nya. Gubernur Irian Jaya, Riau, atau DKI Jakarta, tak banyak berbeda warna dan visinya dengan berita hansip atau Dharma Wanita.

Dalam bidang pendidikan pun keluwesan menampung segala permintaan terang-terangan atau per telepon. Pengajaran bahasa yang aneka ragam, mimbar agama, kuis, maunya serba komplit. Dalam bidang hiburan, yang secara lnagsung dirasakan masyarakat, ternyata perampungan yang sama.

Sejak dari tema-tema fragmen, sandiwara, film, sampai ketidaksukaan dari episode film seri, dominasi musik tertentu dan pengelolaan yang tertentu, bisa menjadi tumpuan harapan dan sekaligus kekecewaan.

Dalam kondisi seperti ini, rasanya sia-sia saja kalau mau mencoba menguliti satu demi satu acara yang ada. Pertanyaan dan keraguan pneonton, jauh hari juga dirasakan pengelola siaran, akan tetapi menemukan jawaban yang berakhir sama: mau apalagi?

LIMA CARA. Peningkatan yang ada adalah memantapkan posisinya di mana TVRI bisa menentukan prioritas untuk bersikap. Menjadi bagian utama dari suara pemerintah, yang memang harus sembada mendukung dari sisi pembiayaan dan seklaigus menciptakan peluang profesional dan kreatif, atau menjadi milik masyarakat dalam berbagai keikutsertaannya termasuk beriklan untuk kemudian baru menyisipkan misi pembangunan.

Dengan demikian keluwesan yang ada bukan keluwesan mengabdi kepentingan, yang entah kenapa menjadi berbenda tajam. Tanpa kejelasan sikap, pembicaraan juga serba samar dan tak menyelesaikan permasalahan dasar.

Akan tetapi agkanya perubahan untuk sampai ke sikap yang jelas, agaknya masih sangat perlahan-lahan sekali, kalaupun (waktu itu) akan datang. Dalam kondisi begini hanya langkah-langkah pendek yang tersedia tetap dalam batas-batas keluwesan. Langkah pertama, seburuk apapun kondisinya, bisalah dipolakan, diacarakan, disusun, ditepati. Gampangnya ada jadwal acara.

Langkah kedua, menghapus “dosa” yang (waktu itu) telah lalu. Yaitu, tidak mengulangi putar-balik urutan film seri, pemberian teks yang pas, atau bahkan sampai bisa mengadakan “penyambungan” kembali pemutusan hubungan dengan Oshin, serta acara sejenis. Langkah ketiga, “membius” untuk mengalihkan perhatian sebentar, dengan siaran langsung baik peritsiwa olahraga, maupun jenis hiburan yang lain.

Langkah keempat, membuka dialog. Baik dengan betul-betulan ataupun memberi kesan ke arah itu. Sehingga persoalan yang terjadi lebih jernih dan jelas. Sekurangnya menunjukkan tanggung jawab dan memberi tanggapan. Baik soal lama, seperti posisi Aneka Ria Safari, Selekta Pop, atau persyaratan tampil yang lain. Langkah kelima, berdoa. (Harapan waktu itu) mudah-mudahan masyarakat luas, juga pejabat-pejabat beserta sanak kelaurga, makin sadar budaya televisi.

Dalam pelakasanannya, TVRI tak harus sendiri. Ada rekan-rekan dari media cetak, ada suara-suara, ada ajakan dan seruan bagi pengisi acara. Program jangka pendek, (perkiraan waktu itu) mungkin akan memperkuat keluwesan yang ada. Karena biar bagaimanapun, biar tidak merayu, TVRI (kala itu) masih akan diotonton sebagian besar rakyat Indonesia, dan (kala itu) masih akan tetap begitu, kalaupun tak dilakukan apa-apa.

Ditulis oleh: Arswendo Atmowiloto (*catatan kecil untuk seminar sehari “Peningkatan Siaran TVRI, Suatu Upaya Bersama”, di gedung TVRI Senayan, Jakarta, 23 Desember 1987)

Dok. Monitor – No. 62/II/minggu ke-2 Januari 1988/6-12 Januari 1988, dengan sedikit perubahan

Komentar

Postingan Populer