TV SWASTA PERLU PASANG IKLAN




TERUS TERANG, selama itu penonton televisi swasta belum dimanjakan. Sebutlah RCTI, dia malah lebih suka memanjakan biro-biro iklan. Itu bisa dilihat dari sikap manis RCTI yang selalu rutin mengundang makan para ‘account executive’ atau ‘media planner’. Atau rajin memberikan segala informasi tentang acara baru (waktu itu) dan film unggulan yang (ketika itu) akan ditayangkan. Atau menyediakan waktu untuk konsultasi, kalau memang itu yang diperlukan.

Boleh saja hal ini dianggap sesuatu yang wajar. Dua jabatan ini, dalam dunia periklanan, memegang peran di dalam merayu kliennya untuk memasang iklan di televisi swasta. Tapi, mereka juga dapat mempengaruhi sang klien untuk tidak memasangnya. Mereka memiliki andil untuk setiap rupiah yang masuk ke kantong televisi swasta.

Tapi kita bukan bicara soal ketergantungan. Denyut hidup biro iklan sendiri tidak lepas dari televisi swasta. Untuk setiap penayangan iklan yang dilakukan kliennya, biro iklan juga dibeir persen, komisi. Jadi, lebih tepat kalau disebut sebagai hubungan bisnis. Sama-sama tergantung. Sama-sama untung dan (kalau gagal) sama-sama buntung. Masalahnya, tidak sampai di sini saja.

Sesungguhnya, penonton dan pemasang iklan juga punya hak yang sama untuk dimanjakan. Mereka memiliki andil yang sama dalam menggerakkan siklus hidup televisi swasta. Bisa dibayangkan kalau televisi tanpa penonton. Begitu juga tanpa iklan, mana mungkin televisi swasta punya modal memberikan sajian terbaik? Dan kalau mau jujur, televisi swasta (sampai saat itu) belum melakukan hal ini.

SEKADAR contoh: ketika RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia)/SCTV (Surya Citra Televisi Indonesia) menayangkan miniseri apik If Tomorrow Comes karya Sidney Sheldon, banyak pemirsa yang kecewa karena ketinggalan atau baru mengetahui setelah miniseri itu selesai diputar. Alasannya yang kebetulan iseng, penulis (Yoen K) selidiki: mereka merasa tidak tahu. Salah merekakah?

Seharusnya, televisi swasta memberikan informasi yang lebih jelas. Tidak sebatas pada ‘trailer’ (“iklan” film yang bakal diputar), yang sering diputar diseling acara (ketika slot iklan lagi kosong-red). Tidak juga merasa sudah bebas dari tanggung jawab karena hampir seluruh surat kabar di tanah air ini (waktu itu) dengan sukarela menyediakan kolom untuk daftar acara harian.

Tidak pula karena saat itu sudah banyak tabloid macam Citra yang membantu menyampaikan informasi kepada penonton. Tidak cukup. Kalau televisi swasta merasa sudah lebih dari cukup berbuat, mengapa masih banyak juga (waktu itu) penonton yang gemas karena sering ketinggalan sajian yang bagus? Penonton tidak bisa kita remehkan.

Bila kita masih terus mengacuhkan mereka yang tidak menyaksikan acara atau film yang ditayangkan – karena ketidaktahuan dan minimnya informasi yang disampaikan kepada mereka – maka hal ini (waktu itu) akan menjadi bumerang untuk televisi swasta sendiri. Yang pertama kali protes, tentunya pemasang iklan. Mereka pihak yang dirugikan. Mereka telah mengeluarkan berpuluh juta perak, hanya dengan satu harapan: dapat mencuri perhatian penonton sebanyak mungkin.

Dengan segala alasan yang diurai di atas, penulis bacaan ini (Yoen K, adalah pemerhati pervideoan dan bekerja di biro ‘advertising’ di Jakarta) berani mengusulkan: televisi swasta perlu, bahkan (waktu itu) harus mulai beriklan diri. Iklan diri yang dimaksud di sini, tidak lain memberikan informasi pada penonton tentang segala acara dan film yang akan ditayangkan.





Iklan tersebut bisa saja dimuat di berbagai media umum, sebelum acara atau film tersebut ditayangkan di layar. Atau bisa juga lewat iklan radio. Atau malah memungkinkan lagi, di saluran TVRI (televisi pemerintah-red)dengan memberikan kompensasi sepantasnya. Atau yang lain lagi via media massa cetak.

Tradisi beriklan diri seperti ini telah menjadi bagian dari langkah pertelevisian profesional (waktu itu). NBC di AS, misalnya. Salah satu jaringan televisi raksasa AS ini tidak segan mengeluarkan dana prommosi dalam enam bulan pertama sebesar 19,6 milyar rupiah. Menyusul brodkas ABC dengan angka 18 milyar perak. Dan CBS mengeluarkan tidak kurang dari 17,7 milyar. Ini bukan angka bikinan. Penulis bacaan ini (Yoen K) sengaja kutip dari majalah ‘Advertising Age’ terbitan Agustus 1991.

Stasiun televisi tetangga, SBC Singapura, juga (waktu itu) sudah melakukan hal serupa. Untuk mempromosikan sebuah film horor yang (waktu itu) akan diputar pada akhir tahun 1991, SBC merasa perlu untuk memasang iklan setengah halaman di harian terkemuka ‘The Strait Times’.

KITA belum tentu harus seperti mereka kalau mau dibilang profesional. Kita bisa maklum dengan keadaan di sana, di mana persaingan antar stasiun televisi swasta (saat itu) begitu ketat. Kita (waktu itu) belum sampai pada keadaan seperti itu. Tapi bukan lantas ini dijadikan alasan untuk merasa tidak perlu mengambil langkah serupa.

Apalagi sudah diisyaratkan dengan masuknya berbagai jaringan televisi asing di sini, yang dapat menjadikan alasan bagi pemasang iklan untuk memindahkan dana promosinya. Itu bukan hal yang kita inginkan. Yang kita inginkan adalah menjaring sebanyak mungkin penonton dan menayangkan sebanyak mungkin iklan.

Ini baru bisa dilakukan dengan beriklan diri. Dengan demikian, penonton dapat memperoleh informasi yang sebenarnya. Dan pemasang iklan merasa tidak dirugikan. Televisi swasta (waktu itu) sudah harus memikirkan langkah ini. Kalau (waktu itu) masih merasa keberatan dengan dana promosi yang disandang, televisi swasta bisa saja mengajak pemasang iklan untuk memikul bersama.

Tentu saja diberikan kompensasi untuknya. Misalnya, dalam iklan tersebut mencantumkan logo pemasang iklan. Atau, mencantumkan kata-kata, “Acara ini turut disponsori oleh…” Begitulah. Ini sekadar usulan. Televisi swasta tentu lebih mengerti yang harus dilakukannya.

Dok. Citra - No. 106/III/7-13 April 1992, dengan sedikit perubahan





Komentar

Postingan Populer