SAUR SEPUH DIJENAKAKAN LEWAT KIDUNG (KIDUNG JENAKA, TVRI SURABAYA - SETIAP HARI MINGGU Pkl: 18.50 WIB)

DEBAT. Agus berdebat dengan Sabar, soal gamelan. Pengendang, membelakangi kamera, adalah Cak Kandar 

PAKET khas Kidung Jenaka (KJ) semakin dapat angin (waktu itu). Pola acara TVRI Surabaya yang mulai berlaku Oktober 1988, menjanjikan penayangan KJ seminggu sekali. Sebelumnya, dua minggu sekali.

Mau tak mau, duet pengarah acara Indra Gunawan dengan asistennya, Suatmadji pun harus kerja keras menjaring para pengidung. Padahal, bikin kidungan tidaklah mudah. Paling tidak, seperti yang diungkapkan Agus Kuprit dan pasangannya waktu mengisi paket KJ. Sabar. “Kalau bikin kidung yang berisi misi pembangunan sih gampang.”

Sebab ungkapannya berangkat dari bahasa-bahasa klise yang umum dikatakan oleh berbagai ‘amss media’. “Justru kalau bikin kidung yang lucu, sulit.” Karena dituntut oleh logika bahasa yang diplelesetkan, sehingga menimbulkan pengertian yang konotatif, imajinatif.

Agus dan Sabar, pentolan grup ludruk Bintang Jaya, Sidoarjo, seringkali harus “bertengkar” dulu sebelum menyepakati kidung yang akan dibawakan. Apalagi kalau dikidungkan secara duet, istilahnya yang satu ‘dodol’ (jual) yakni memberi umpan sampiran, yang lain ‘tuku’ (membeli) yakni menyahuti dengan syair yang bermakna dan berakhiran sama dengan yang ‘dodol’.

Waktu salah satu paket Agus dan Sabar dibuat, Agus bersolo-kidung tentang kisah sandiwara radio yang beken Saur Sepuh. Ketika Sabar masuk untuk duet ‘saur manuk’ (bersahut-sahutan) mengenai nama-nama instrumen gamelan, konon Sabar harus memeras otak dan berdiskusi lama sebelum menentukan jawaban soal gong. “Sebab Agus memberi umpan akhiran em. Sebenarnya, bisa disahuti dengan nem.”  

Nem adalah salah satu tangga nada pada instrumen pentatonic. “Tapi, apa setiap orang kenal tangga nada tersebut? Supaya gampang dimengerti saya ganti ulem. Pokoknya berakhiran em.” Maksudnya ulem, untuk acara yang enak dan tidak sember (pecah). Peminat pengisi acara KJ, sebenarnya (waktu itu) lumayan bagus.

Cuma, kemudian muncul para pemain ludruk yang tidak pernah kebagian ngidung dalam grupnya, atau (waktu itu) sudah lama tidak ngidung, mengajukan lamaran dan naskah kidungnya dikirimkan sekalian ke TVRI Surabaya. Bahkan, ada yang karena naskah kidugnya bagus, (waktu itu) sudah direkam. Tpai ternyata tidak memenuhi kriteria waktu 10 menit. Cuma 5-6 menit. Lantas, diapakan? “Kalau tidak terpaksa sekali, ya tidak ditayangkan.”

Kok? “Soalnya, waktu rekaman, mereka nyesek saja. Maksudnya, iramanya cepat-cepatan. Biar cepat selesai rekaman, sehingga tidak memenuhi kriteria waktu yang diberikan. Sementara lahan berkidung-ria di TVRI Surabaya semakin luas.

Acara ludruk yang dulunya (sebelum 1988-red) sebulan sekali, dalam pola baru jadi sebulan 2 kali. Lantas dalam acara paket musik, seperti Galarama, para pelawak yang berangkat dari dunia ludruk, Kartolo dan Sawunggaling-nya sebagai misal, bisa pula berkidung jenaka untuk menghiduplkan lawakannya.

Maka KJ pun semakin mendapat tantangan untuk tampil lain daripada yang lain. Bagaimana? Tentunya teknis waktu syuting, bukan cuma mengandalkan pengambilan gambar ‘long-shot’, ‘medium-shot’, atau ‘close-up’ (wajah) saja. Apalagi ‘setting’-nya tetap bertahan dengan panggung oval dikelilingi para pengrawit gamelan.

Harus dicarikan variasi yang bisa membuat KJ lebih seronok. Misalnya potongan-potongan gambar ’gensengan’ anggota tubuh pengidung. Lirikan mata. Gerak bibir. Ekspresi wajah. Mahal dan sulit? Tentu saja. Tidak bisa hanya sekali jalan, pengisi KJ masuk studio lantas ngidung secara ‘live’ diiringi gamelan. Harus banyak pengulangan-pengulangan pengambilan gambar. Kamera pun harus memiliki estetika yang memadai, bukan sekadar sebagai petugas yang diserahi mengintai objek KJ.

Dengan tiga kamera studio, yang ada di studio TVRI Surabaya, barangkali bisa dicoba. Masalahnya, kalau salah satu, tiba-tiba di tengah waktu syuting ngadat dan tidak dapat dimanfaatkan. Karena setiap hari harus bertugas mengintai berbagai objek paket acara. Ya? ‘Santen toyo kelopo, sae lan mboten dikapakno’ (Santen air kelapa, baik dan buruk apa boleh buat).

Ditulis oleh: Rusdi Zaki

Dok. Monitor – No. 104/II/minggu ke-4 Oktober 1988/26 Oktober-1 November 1988, dengan sedikit perubahan

Komentar

Postingan Populer