GRUP BATIK BELAJAR NYANYI ANAK AYAM TURUN SEMILYAR (LAWAK ANEKA RIA NUSANTARA, TVRI - MINGGU, 16 OKTOBER 1988 Pkl: 21.30 WIB)

SEPEREMPAT jam sebelum naik pentas, grup lawak Batik (Basuki-Timbul-Kadir) masih disibukkan oleh urusan nyanyi. Pasalnya, setelah lawak nanti, mereka masih akan menyanyikan lagu anak-anak.

Lucunya sampai saat itu mereka belum hafal liriknya. Inilah susahnya kalau saat rekaman suara suka menggunakan catatan. Akibatnya, pas rekaman gambar mereka jadi kebingungan. Celakanya lagi, ketika Timbul ditanya tentang materi lawakan yang akan ditampilkan, ia juga merasa belum siap. “Saya belum tahu. Basuki yang ngatur.”

Dan ketika ditanyakan Basuki jawabnya, “Apa sajalah, ‘wong’ waktunya cuma enam menit.” Tidak mengherankan karena memang sudah begitu adanya. Melawak memang lain dengan bermain sandiwara atau film.

Apalagi bagi grup Batik yang sejak awal karirnya lebih banyak mengandalkan spontanitas. Jangankan untuk waktu yang hanya 6 atau 7 menit, untuk Pangkalan Humor saja mereka cuma merancang sedikit jalan ceritanya. Selebihnya terbentuk saat mereka telah berada di atas pentas.

Meski demikian, meragukan hasil lawakan grup Batik pada saat itu kayaknya memang belum saatnya. Dengan kemampuan mereka berimprovisasi serta kejelian dalam menyerap kelucuan yang ada pada masyarakat – yang telah mereka bangun sejak di Srimulat – tampaknya (kala itu) masih cukuplah untuk menempatkan mereka pada deretan pelawak sakti di papan atas.

Dan karena pada kenyataannya grup Batik adalah lulusan Srimulat, maka juga tak terlalu aneh bila dalam melawak mereka (waktu itu) masih sering menggunakan “ilmu lama” dalam soal menyelwengkan logika dan bahasa. Sebagai contoh bisa diambil dari yang mereka lawakkan kali ini. Seperti ketika Timbul bermain kata “walaupun” yang dengan seenaknya ia letakkan di sembarang kalimat. “Apa cita-citamu?,” tanya Basuki. “Walaupun!,” jawab Timbul dengan gaya meyakinkan.

Atau – sebagai contoh yang lain – ketika Basuki mengajari cara menyanyi, yaitu dengan cara leher ditarik, mulut dibuka, dan gigi ditekan. Ajaran seperti ini jelas melenceng dari logika, makanya TImbul pun jadi kebingungan ketika hendak mempraktekkan. Dan hal ini memang cukup untuk memancing tawa penonton.

Dalam kutipan seperti ini memang kurang terasa kelucuannya, tapi pada kenyataannya grup Batik bisa membawakannya dengan baik. Masih ada satu contoh lagi, yaitu ketika mereka sama-sama menyanyikan lagu Kotek-Kotek. Lagu ini sebetulnya mengandung hitungan dan bisa dinyanyikan secara bersahutan, maka mereka pun memanfaatkannya menjadi bahan penggali tawa. Plaing tidak, lumayanlah bagi ukuran lawak ARN.

Lirik anak ayam yang biasnaya hanya sampai hitungan ke-10, oleh mereka diubah menjadi: “Anak ayam turun semilyar, mati satu tinggal….” Atau, “Anak ayam turun sepuluh ribu lebih 10%, mati satu…” Atau menyamakan arti kotek-kotek dengan otak-otak, makanan yang banyak dijual di Jakarta.

Model yang begini ini bagi yang mempunyai naluri pelawak memang bisa langsung digunakan sebagai modal. Masalah menceng dari logika umum atau tidak, toh tak menjadi persoalan. Tetap “halal”. Sama halalnya dengan Asmuni ketika mengganti kata musyawarah menjadi ‘musyoowarooh’. Seperti sudah jamak dan bukan “hil yang mustahal”. Yang menjadi pertanyaan (saat itu), apakah lawakan yang model begini tidak membuat jenuh penonton?

Ditulis oleh: Gregorius “Gege” Sarsidi

Dok. Monitor – No. 102/II/minggu ke-2 Oktober 1988/12-18 Oktober 1988, dengan sedikit perubahan

Komentar

Postingan Populer