ANAK AJAIB DITERPA BADAI KARENA ADA YANG MENABUR ANGIN (RMD, TVRI - MINGGU, 30 OKTOBER 1988 Pkl: 12.30 WIB)

SEJAK ada perubahan pola acara baru TVRI (era itu) mulai 1 Oktober 1988, RMD (Rumah Masa Depan) yang biasanya tampil tiap hari Minggu, sekali sepekan, (belakangan itu) menjadi sekali dua pekan. Itu artinya, RMD hanya muncul di hari minggu I dan Minggu IV setiap bulannya. Akibat perubahan acara itu, episode Anak Ajaib II yang sedianya ditayangkan pada Minggu, 9 Oktober 1988, menjadi tertunda lagi. Begitu seterusnya dengan episode Anak Ajaib III.

Dalam episode Anak Ajaib II dan III, fokus cerita masih bertumpu pada Sangaji, si anak ajaib. Si anak yatim yang memiliki kegemaran membaca dan berhasil memenangkan lomba cerdas cermat di tingkat desa. Serta merta sejak kemenangannya, Sangaji memang menjadi profil idola remaja di Cibeureum. Dia bahkan berhasi lmenumbangkan dominasi Bayu yang selama ini unggul.

Dalam lomba cerdas cermat tingkat kabupaten, bahkan Sangaji mampu menumbangkan para jawara kecerdasan. Namanya pun segera kondang. Akibatnya, banyak orang datang ke Cibeureum, ingin mengetahui kemampuan Sangaji. Bahkan, ada juga yang mau sekadar menguji.

Beberapa pelajar SMA dari Cianjur yang berhasil ditumbangkan Sangaji, lebih dari itu lagi, mau memberi hadiah Sangaji, ketupat Bengkulu. Ibarat cemara, “Semakin tinggi, semakin kencang badai menerpa.” Sangaji pun sempat terguncang jadinya. Hatinya sempat pula kesal. Tapi mau ngomong apa?

Untung ada simpati dan pembelaan diperoleh dari Bayu dan Hartono. Juga Santoso, Cempaka, dan Gerhana. Meski di Cibeureum sendiri, ada yang menebar angin. Siapa lagi kalau bukan bu Suwito, yang anak kesayangannya, yang dijagokannya, juga dipecundangi oleh Sangaji.

Untunglah, anak ajaib berkacamata Lennon, itu punya tempat untu kmencurahkan gundah, resah, dan gelisah hatinya. Ibunya. Janda, mantan guru yang sejak kematian suaminya, hijrah ke Cibeureum dan menjadi tukang cuci pakaian tetangga. Ibu yang masih mampu mengalirkan kasih sayang, meski didekap kepapaan dan kemiskinan.

Dialog-dialog yang mengusik perasaan meluncur dalam hari-hari kehidupan mereka. Cahaya lampu cempor yang redup, memberi suasana. Ada keluh kesah, memang. Tapi tak keterusan menjadi kepasrahan yang mengandung keputusasaan. Malahan terasa membuat Sangaji semakin mengerti makna suatu nasib dalam usianya yang masih belia.

HIRUP, HIDUP. Dalam episode Anak Ajaib II dan III, terasa Ali Shahab masih ingin mengusik perasaan penonton untuk memiliki keberanian melihat kenyataan hidup. Selain itu, juga masih terasa kesengajaan untuk menawarkan gambaran kepada khalayak penontonnya, untuk menangkap fenomena sosial. Munculnya orang-orang tertentu yang tak kalah dengan mereka yang memiliki latar belakang pendidikan formal.

Gambaran sosial yang divisualisasikannya pun bisa dialami dan disaksikan setiap orang dalam kehidupan keseharian kita. Apalagi bandingannya pun jelas. Sangaji yang tak mampu secara ekonomis, tetapi memiliki kesungguhan belajar keras dan bekerja keras, mampu hadir dan bereksistensi.

Sementara Anton, putra keluarga kaya, Suwito, karena kemalasannya justru kebalikannya. Selebihnya, dalam episode ini, ketakjuban terhadap Sangaji pun sudah bergeser. Menjadi kekaguman yang biasa-biasa saja. Rasa hormat yang wajar tak berlebihan.

Bila kemudian ada terasa Ali Shahab mengeksploitasi keppaaan keluarga Sangaji untuk menumbuhkan simpati dan keberpihakan penonton padanya, itu kesengajaan yang wajar dan bisa diterima. Karena sebagai film pendidikan, kecenderungan untuk memotivasi penonton, sah saja adanya.

Kendati kesengajaan itu bisa diartikan sebagai suatu upaya sutradara untuk menawarkan pesan, seperti yang diisyaratkan Rasul Muhammad, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.” Sesuai dengan kehendak dan keinginan sutradara untuk menjadikan film ini sekaligus sebagai media dakwah. Sayangnya, sutradara terlalu asyik dengan tokohnya, dengan obsesi, dan bahkan pembenaran terhadap sikapnya. Sehingga ada logika yang terpeleset.

Umpamanya, terlampau buruknya nasib ibu Sangaji, sehingga tak bisa meneruskan profesinya sebagai guru dan terpaksa menjadi tukang cuci pakaian tetangga. Lantas, mestikah ia pulang ke Cibeureum bila hanya untuk sekadar sengsara dan menderita? Sekalipun begitu, ada juga memang yang kita bisa hirup, tentang makna hidup.

Ditulis oleh: N. Syamsuddin Ch. Haesy

ANAK AJAIB II dan III

Ibu Sangaji – Mila Karmila

Sangaji – Muhammad Awad

Bayu – Septian Dwicahyo

Hartono – Finsa

Gerhana – Andi Anzy Spetavi

Pak Sukri – Deddy Sutomo

Bu Sukri – Aminah Cendrakasih

Pak Darman – S Bono

Bu Netty – Yona Sakina

Pak Suwito – Panji Anom

Bu Suwito – Mieke Wijaya

Produser/skenario/sutradara: Ali Shahab

Penata kamera: Boy Bermaki, Priyono, Topo Broto

Penata musik: Iwan Madjid

Produksi: TVRI-PT Sepro Karya Pratama

Dok. Monitor – No. 104/II/minggu ke-4 Oktober 1988/26 Oktober-1 November 1988, dengan sedikit perubahan

Komentar

Postingan Populer