OPINI - FORMAT TAYANG ANAK IDEAL: KOLABORASI MATHILDA, DONAL BEBEK, DAN SI KOMO



SAMPAI detik itu (1995-red), para praktisi komunikasi kita masih bingung. Kebingungan yang muncul, akibat (waktu itu) belum ditemukannya format tayangan lokal yang kondusif, bagi anak (era itu). Indikasi dari kondusif di sini dapat diasumsikan sebagai bentuk program yang mampu memberdayakan sikap kritis anak (era itu) sebagai pemirsa. Bukan malah sebaliknya.

Sebab, sebagian besar produk tayang dari stasiun televisi yang kita punyai (TVRI, RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar-red) sedikit sekali, yang – maaf! – “mengorangkan” anak (era itu) sebagai subyek yang juga punya hak. Maksudnya, televisi – seharusnya – konsisten terhadap hadirnya anak (era itu) sebagai subyek pemirsa. Bukankah setiap stasiun televisi dapat meraup untung, dengan adanya pemirsa kalangan anak-anak (era itu)?













Jujur, secara kontekstual dapat diasumsikan bahwa stasiun televisi kita, acap kali melalaikan visi anak (era itu). Apa yang dimaui dan dibutuhkan oleh anak (era itu), tidak pernah terpenuhi oleh praksis televisi. Para pengelola stasiun televisi hanya mengedepankan dimensi produk tayang yang menghibur. Keluar dari format hiburan, agaknya tidak ada.

Memang, harus diakui, bahwa “ideologi” yang diamini oleh banyak stasiun televisi saat itu, aadalah “ideologi” hiburan, demikian yang diungkapkan oleh seorang totalis Neil Postman (1995), sehingga jangan pernah kita berharap, bahwa fungsi-fungsi sosial televisi lainnya akan mencapai titik klimaks. Sebab, relasi publik pemirsa dengan stasiun televisi adalah relasi bisnis.

Dalam arti, pemirsa mulai dari usia anak (era itu) hingga dewasa (lebih tepatnya: kita – generasi yang sudah “berumur” di era 90an-red), dalam bingkai tayangan bisnis pertelevisian tak ubahnya konsumen. Yakni, subyek pasir, yang siap direkonstruksi secara kongitif oleh beragam bentuk tayangan televisi.



















Demikian juga anak (era itu). Anak, tak lebih dari konsumen, dari sebuah realitas peradaban, yang didominasi oleh birokrasi kapitalistik dan budaya massa, mengutip asumsi yang dilontarkan oleh Adorno, Horkheimmer dan Herbert Marcuse. (Roger Silverstone, “Television and Everyday Live”, Routledge London 1994, hal: 162). 

Lantas, dalam posisinya sebagai subyek yang pasif, apakah anak (era itu) juga membutuhkan bentuk tayangan yang akomodatif serta dapat memberikan kontribusi positif bagi dirinya? Barangkali, dari titik inilah, Tingkat kritis pemikiran kita diajak untuk berdialektika, mereka-reka – atau – berprediksi, seputar format tayangan yang ideal bagi anak (masa itu).









TELEVISI, adalah media yang “membumi”. Ia dapat dikonsumsi di mana pun. ‘Plus’, dapat dijadikan “teman” di kala sepi. Sekaligus, eksistensi televisi di sini, secara kontekstual telah melahirkan beragam bentuk debat. Entah itu debat kusir, ilmiah dan serius atau yang lain. Sementara, alasannya cukup sederhana: bahwa televisi merupakan media paling fenomenal dalam sejarah peradaban saat itu.

Bagi anak (era itu), tentu saja televisi punya multifungsi – jika anak (era itu)tersebut menyadarinya! Yakni, televisi mampu diposisikan sebagai teman penghibur. Mampu merangsang daya fantasi anak (era itu). Pendek kata, dapat memberdayakan anak (era itu).

Bahkan, jika kita deteksi dalam ‘frame’ yang – sedikit – sinis, namun obyektif, maka televisi sebenarnya juga mampu merangsang daya fantasi anak, melebihi usia ke-anak-anak-annya. Semisal, tanpa sadar ia – anak, sebagai pemirsa – berkhayal tentang kehidupan berumah tangga, setelah menonton kehidupan konyol berumahtangga ala Mad About U (di Indonesia diputar SCTV-red) atau Married… with Children (di Indonesia diputar Indosiar-red).

Pada realitas semacam itu, maka televisi dapat dipersepsikan dalam fungsinya yang bias. Dalam arti, pesan yang dilemparkan oleh stasiun televisi, terutama dalam bentuk program-program siarnya, dalam perspektif komunikasinya Habermas, tidak mencapai titik komunikatif. Sebab, bias makna muncul dalam tindak komunikasi tersebut.

Untuk mengatasi hal itu, tentu saja perlu dicari format tayang yang memang sesuai dengan karakter anak. Dalam arti, program tayangan tersebut, relevan dengan dinamika anak. Barangkali, untuk dapat menciptakan bentuk tayangan yang relevan dengan karakter anak, terlebih dahulu harus dipahami bentuk apa yang diinginkan oleh anak (era itu).

Asumsi yang pertama, bahwa format acara tersebut harus punya dimensi hiburannya yang kuat. Maksudnya, alasan ini disesuaikan dengan karakter psikologis anak. Yang riang, ceria, dan selalu gembira, mungkin juga konyol. Yang pada akhirnya dapat membuat anak menjadi senang.

Jika realitasnya memang demikian, barangkali sebagian besar dari pemirsa – kita – pernah menonton film kartun serial Donal Bebek. Donald Bebek, adalah binatang yang dipersonifikasikan sebagai tokoh yang antagonis. Ia bisa bersahabat atau mungkin juga bermusuhan – alias menjengkelkan – bagi kemenakannya Kwik, Kwek, Kwak ataupun paman Gober.

Alhasil, narasi cerita yang dibangun di sini nampak segar, lucu, atau mungkin juga konyol. Dan bentuk semacam serial Donal Bebek inilah, yang sebenarnya mampu merekonstruksi tingkat animo pemirsa anak. Nampak di sini, yang dibutuhkan dalma format tayangna anak adalah kekuatan bahasa hiburannya.

Asumsi yang kedua, bahwa acara tersebut harus mampu mengemban misi yang edukatif. Maksudnya, pesan-pesan yang mendidik diselipkan dalam narasi cerita yang dibangunnya.

Untuk contoh format semacam ini, barangkali tayangan lokal si Komo-lah yang telah mewakili teks semacam ini. Sebab, dalam serial boneka si Komo (TPI) pesan edukatifnya pun dibangun dari nada-nada ritmis lagu. Dan dengan hadirnya pesan edukatif lewat lagu tersebut, maka anak akan lebih mudah untuk mengingat dan menghafalkannya.

Prasyarat yang ketiga, dan ini tak kalah pentingnya, adalah menumbuhkan kesadarna pada diri anak, untuk tidak mengkonsumsi bentuk tayangan yang memang tidak relevan dengan karakter psikologisnya. Penumbuhan kesadaran ini pun, harus didukung oleh konsistensi sikap dari pengelola stasiun televisi. Yakni, dengan tidak menyiarkan acara-acara yang punya nuansa erotisme, sadisme, dan kekerasan pada jam-jam anak punya peluang untuk mengkonsumsinya.

Jika pembaca yang budiman pernah menonton film bertitel Leon: The Cleaner, arahan sutradara yang pernah menggarap La Femme Nikita, yakni Luc Besson, ada petikan dialog menarik di dalam salah satu adegannya. Leon (diperankan aktor Jean Reno) terlibat dialog menarik dengan gadis kecil Mathilda (diperankan oleh Natalie Portman).

Mathilda, sebagai anak menaydari, bahwa ketika ia berhadapan dengan realitas riil di Little Italy, yang muncul adalah realitas kekerasan. Begitu pula, ketika ia mengkonsumsi sebuah tayangan televisi. Yang Mathilda dapatkan adalah kekerasan dunia orbot, alias kekerasan realitas alam imajinatif televisi.

Lantas, Mathilda bertanya kepada Leon, apakah realita yang akan Mathilda hadapi identik dengan dunia yang keras? Dan Leon yang dipersonifikasikan sebagai sosok lugu, buta huruf, namun pandai membunuh tersebut menjawab: “Untuk sementara ini, demikian adanya!” Nmapak bahwa ada semacam kesadaran dalam diri anak, bahwa kekerasan itu menakutkan.

Jika dari titik ini kita dapat membangun bahwa anak (era itu) seharusnya menjauhi realitas yang destruktif, terutama lewat program televisi, barangkali format ideal yang kondusif bagi anak (era itu) akan diminati. Namun, persoalannya adalah, sudahkah ada program tayangan yang benar-benar punya misi edukatif yang memberdayakan bagi anak?

KIRANYA, perpaduan antara formal yang menghibur, punya misi edukatif dan mampu merangsnag kesadaran anak (era itu), - barangkali - merupakan kreasi bayangan yang ideal. Kolaborasi ketiga unsur tersebut, sebenarnya sudah diipunyai oleh salah satu program impor yang pernah ditayangkan oleh stasiun RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia)/SCTV (Surya Citra Televisi Indonesia), Sesame Street.















Sesame Street sampai saat itu masih diakui oleh pakar pendidikan sebagai salah satu program yang benar-benar kondusif bagi anak.

Sesame Street yang diudarakan pertama kali tahun 1969 tersebut, merupakan acara hasil kreasi kolaborasi dari penggarapan para sineas film dan para pakar pendidikan dari hasil risetnya tentang dunia anak. Alhasil, jika kita menonton acara Sesame Street, maka aspek pendidikan yang lebih bersifat instruksional yang menghibur – dengan hadirnya lagu – nampak di situ.

















Bahkan, menurut data yang ada, acara tersebut telah diadaptasikan ke berbagai negara. Semisal, di Jerman, Sesammestrasse, di Belanda dan Belgia diadaptasi menjadi Sesamstraat, lantas di Perancis ada 1, Rue Sesama, dan masih banyak negara lagi yang mencoba mengadaptasikannya. (Edward L. Palmer, ‘Television and America’s Children’, Oxford University, 1988, hal. 112).

Sampai di sini, apakah kita mampu mereka cipta acara yang kondusif dari – sedikit-guliran pemikiran di atas? Ada baiknya (waktu itu) kita menunggu.

Ditulis oleh: Tonny Trimarsanto (penulis – waktu itu – adalah mahasiswa Komnas UNS Solo, penonton setia televisi)

Dok. Citra – No. 280/VI/7-13 Agustus 1995, dengan sedikit perubahan

Komentar

Postingan Populer